Malam Selikuran, Satukan Ihwal Religi dan Tradisi

Harian Kota Solo - Malam Selikuran, Satukan Ihwal Religi dan Tradisi

Iring-iringan ratusan ting terlihat jelas di sepanjang Jl Slamet Riyadi. Ting yang ditampilkan dalam berbagai bentuk tampak menghiasi langit Solo, Rabu (8/8/2012) malam. Mengenakan berbagai pakaian tradisional, peserta festival ting yang menyambut malam selikuran ini berjalan dari Balaikota Solo menuju Plaza Sriwedari.

Sayup-sayup terdengar suara rebana dan kentongan bambu yang turut mengiringi perjalanan 51 kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Solo yang juga dalam rangka menyambut malam lailatul qadar pada Ramadan 1433 hijriah itu.

Dibuka oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Solo, Budi Suharto, di Balaikota Solo, iring-iringan budaya yang juga menggemakan misi religius itu berlangsung tertib. Diawali mobil pengawal, rombongan onthel, hadrah dan prajurit jagatirta, peserta berjalan penuh semangat. Penonton tak mau kalah, dengan sabar mereka menunggui acara hingga rampung. Sementara, di Plaza Sriwedari, sembari menunggu peserta festival berkumpul, panggung Sriwedari menyuguhkan berbagai pertunjukkan budaya berupa tari dan wayang.

Religius namun tetap menonjolkan branding Solo sebagai kota sarat tradisi. Begitulah kiranya hal yang ingin disampaikan dalam festival yang berlangsung sekitar dua jam ini. Penghormatan terhadap Bulan Ramadan mereka maknai dengan menyatukan ihwal keagamaan tersebut dalam konteks budaya.

“Solo kan Kota Budaya. Ini biar menjadi ikon kota Solo. Tahun berikutnya akan kami adakan, tapi tetap tidak meninggalkan unsur tingnya,” tegas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Solo, Widdi Srihanto.

Ting diibaratkan cahaya yang diturunkan oleh sang pencipta di malam lailatul qadar. Lentera yang terpancar dari ting diharapkan memberikan pencerahan bagi masyarakat Solo agar menjadi lebih baik. “Ini juga mengandung filsafatnya gar kami terhindar dari kegelapan dan ting itu bisa memberikan inspirasi,” harap Sekda Solo, Budi Suharto.

Festival yang dimulai dari Balaikota-Sriwedari juga sarat makna. Lewat iring-iringan malam itu, mereka ingin mematahkan persepsi bahwa malam selikuran di Sriwedari hanya milik Keraton Solo. Mereka ingin keluar dari dikotomi tersebut. “Malam ini juga untuk menunjukkan bahwa Solo bisa bersatu dan kami bisa berjalan.


Berita Kamis, 09/8/2012 - sumber: Solopos

Berita Lainnya:
  • JALAN TOL: Pembebasan Lahan Tunggu Hasil Taksiran DPU
  • Warga Mengeluhkan Bau Menyengat Dari Sisa Kebakaran Gudang Karet Ban
  • FESTIVAL TING, Bakal Dimeriahkan Musik Hadrah dan Bambu
  • TPHK PNS SOLO Sedot Anggaran Rp2 M
  • Pemkot Tak Larang Mobdin Dipakai Mudik Lebaran